Pages

Agama dan masyarakat

Kemarin dalam kuliah malam di Sekolah Teologia di Bandung dibahas soal
'Dampak Sosial Perkotaan dari Urbanisasi dan peran Gereja'. Menarik bahwa
belasan mahasiswa yang semuanya para profesional yang di pagi harinya
bekerja di bidang profesi masing-masing itu cukup antusias berdiskusi
menyoroti tanggung jawab umat Kristen dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak
kurang masalah pengangguran, kemiskinan, gelandangan, anak jalanan,
pelacuran, kekerasan, kriminalitas, HAM dan keadilan perkotaan didiskusikan
dengan antusias.

Kelihatannya gayung bersambut karena ketika membuka internet pagi ini
diterima undangan untuk berceramah di Camp Alumni Fakultas Tehnik UGM yang
ingin membahas tema yang sama dengan tujuan dalam proposalnya yang berbunyi
antara lain: "Pemberdayaan potensi, talenta dan sumber daya alumni untuk
memberikan karya dan kasih kepada masyarakat, bangsa, dan negara."
Suatu kegembiraan bahwa di kalangan agama sudah meningkat adanya kepekaan
sosial dan kepedulian untuk melayani masyarakat seutuhnya, karena kita
mengetahui dari sejarah bahwa banyak sekali penganut agama yang sangat peka
terhadap keyakinan mereka tetapi kurang peka dan peduli terhadap apa yang
disuruh dalam agama itu.

Kalau kita mendengarkan kotbah-kotbah baik di mimbar-mimbar Radio, maupun TV
kita dapat melihat bahwa mayoritas apa yang dikotbahkan dan didakwahkan
adalah menyangkut soal-soal yang kurang mengena dengan kehidupan sosial
kemasyarakatan, dan kalau disinggungpun sifatnya hanya retorik tanpa praxis.
Di kalangan Kristen kepekaan akan penderitaan sesama manusia (yang
seharusnya dikasihi itu) kurang cukup mendapat tempat selayaknya, banyak
program lebih diarahkan kepada kegiatan rutin untuk 'konsumsi sendiri' dan
andaikan adapun porsinya kecil sekali.

Dalam survai yang pernah dilakukan sebuah Sekolah Teologia di Jakarta pada
tahun 1985 ditemukan fakta bahwa dari 225 gereja di Jakarta yang di survai,
hanya 16 gereja saja yang mempunyai 'pelayanan sosial' sebagai bagian
program gereja itu (7%). Angka itu belum banyak beranjak pada waktu diadakan
survai sejenis pada tahun 1990 oleh World Vision Indonesia bekerjasama
dengan UKI-Jakarta, padahal pada kurun waktu yang sama banyak pembangunan
gereja megah terjadi di Jakarta.

Kenyataan bahwa gereja-gereja banyak yang lebih memikirkan dirinya sendiri
dan pembangunan sarana tetapi miskin dalam hal melayani sesamanya dalam
bidang sosial itu rupanya memang merupakan sifat umumnya orang beragama.
Bayangkan di saat Krismon masih berlanjut, masih banyak gedung-gedung agama
dibangun dengan megah dan mahal, bahkan Anugerah Pekerti tokoh manajemen itu
pernah diminta untuk membantu verivikasi keuangan sebuah gereja besar di
Jakarta dan menjumpai kenyataan yang mencengangkan bahwa 85% anggaran
ternyata umumnya digunakan untuk pembangunan gedung yang berkesinambungan.
Kalau begitu, setelah dikurangi biaya rutin berapa anggaran untuk pelayanan
kasih kepada masyarakat?

Di tengah meriahnya kebangunan agama-agama dewasa ini, kita melihat bahwa
kesimpulan Gregory Baum dalam bukunya 'Religion and Alienation' tepat
sekali. Ia mengemukakan bahwa agama sering bersifat ambigu, disatu sisi
agama bisa bersifat menyembuhkan masyarakat (therapeutic), tetapi disisi
lain agama juga bersifat mengasingkan masyarakat dari satu dan lainnya
(alienating).

Memang banyak sekali badan-badan sosial agama yang sudah berkiprah dalam
bidang kemasyarakatan dan mendatangkan kesejukan bagi masyarakat umum tetapi
lebih banyak lagi organisasi-organisasi agama yang lebih memikirkan diri
sendiri bahkan untuk pengamanan diri sendiri dan tidak segan-segan menutup
diri dari masyarakat banyak, baik dari masyarakat dilingkungannya dan
lebih-lebih dari masyarakat di luar lingkungannya. Bila seseorang bergabung
dalam banyak milis di internet, ia akan dengan mudah melihat sisi gelap
agama ini. Milis-milis yang berbau agama atau dialog-agama cenderung berisi
ucapan-ucapan sarkastis yang tidak sejuk, apalagi kalau itu diisi fanatisme
kelompok, ini bila dibandingkan dengan nuansa-nuansa milis-milis non-agama.
Kritik menarik diungkapkan sebuah poster diluar gedung persidangan Dewan
Gereja Sedunia di Upsala. Poster itu berbunyi: "No Tracts but Tractors",
maksudnya bahwa masyarakat tidak membutuhkan traktat tetapi traktor. Hal
senada terjadi dalam seminar 'Urban Ministry' di San Bernardino, California,
dalam pertemuan World Vision International dimana ada poster besar yang
dibuat oleh wakil-wakil World Vision Korea yang menggambarkan gedung-gedung
gereja yang besar-besar yang acuh-tak-acuh pada kawasan kumuh di sekitarnya.
Untuk memberi perhatian gedung-gedung gereja mega dalam gambar itu diberi
mata yang megucurkan air mata!

Memang pelayanan sosial dalam agama khususnya agama Kristen bersifat
dilematis, disatu segi pelayanan sosial adalah perintah yang harus
dijalankan oleh umat sesuai hukum kasih, tetapi dalam prakteknya hal ini
adalah hal yang paling sulit untuk dilaksanakan, apalagi adanya ketakutan
bahwa pelayanan sosial meniadakan atau mengorbankan pelayanan Injil.
Dikotomi ini timbul karena adanya anggapan bahwa melayani Injil berlawanan
dengan pelayanan sosial atau setidaknya keduanya adalah dua realita yang
berbeda.

Harus diakui adanya kenyataan bahwa banyak gereja-gereja yang mengaku 'iman'
yang lurus (orthodox) tetapi mengabaikan pelayanan sosial, sebaliknya ada
juga gereja-gereja yang melaksanakan kegiatan sosial yang luar biasa tetapi
tanpa adanya kesadaran iman sama sekali, sehingga pelayanannya tidak beda
dengan pelayanan organ sosial sekuler ataupun organ sosial yang dilakukan di
negara-negara sosialis.

Kelihatannya kedua kutub itu sama memiliki kekurangan, yang pertama kurang
menghayati hakekat manusia sebagai sesuaitu 'yang utuh' yang harus dilayani
baik aspek rohani maupun aspek jasmaninya sehingga hanya memikirkan aspek
rohani manusia saja, sedangkan yang kedua sama juga hanya memikirkan aspek
jasmani manusia saja. Keduanya tidak utuh karena orang yang sehat rohaninya
akan sakit kalau jasmaninya sakit, sebaliknya orang yang jasmaninya kenyang
dan bisa hidup sehat dibumi ini tidak sadar bahwa kesejahteraan yang sama
harus juga dinikmati dalam kehidupan kekekalan kelak.

Menarik untuk diamati bahwa rupanya agama-agama akhir-akhir ini ditengah
konflik berlatar belakang agama yang makin marak disegenap penjuru dunia
yang memprovokasi perang-perang karena fanatisme agama dan mendatangkan
malapetaka bagi umat manusia, ada kesadaran yang makin meningkat akan peran
agama-agama yang seharusnya 'menyejukkan dan menyembuhkan' bukan saja
kesembuhan rohani tetapi juga kesembuhan jasmani masyarakat, dan bahwa
keduanya tidak terpisahkan tetapi merupakan kesatuan yang utuh.

Agama yang benar adalah agama yang kasih, agama yang melayani sesamanya
seperti melayani diri mereka sendiri. Karena itu kotbah-kotbah mimbar perlu
makin banyak berbicara mengenai tema-tema yang mendarat agar manusia
beragama tidak terasing dari dunianya sendiri yang akan mereka hadapai
setelah keluar dari gedung ibadah dan agar agama bisa menjalankan perannya
yang menyembuhkan dan mengurangi perannya yang mengasingkan seseorang dari
sesamanya dan dari dunia nyata yang ditinggalinya.

Umat manusia membutuhkan kesejahteraan dan kesejukan baik secara rohani
maupun secara jasmani, karena itu kita perlu untuk tetap berdoa dan berusaha
agar pelayanan kasih kepada sesama kita yang terlebih hina itu perlu dengan
tekun kita lakukan bukan sebagai kewajiban agama yang dipaksakan tetapi
sebagai buah-buah yang keluar dari kesaksian hidup yang bersyukur kepada
Allah yang telah menciptakan manusia dan bumi beserta segala isinya.

Dalam Alkitab Yesus berkata: "Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu:
Tuhan, Tuhan! Akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang
melakukan kehendak BapaKu yang di sorga." Ia juga menubuatkan perannya kelak
sebagai Raja, dan Raja itu akan mengatakan: "Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari
saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." (Matius
25:40).

Bangsa Indonesia menghadapi masa yang sukar dan banyak orang tersingkirkan
(marginalized) dan mereka membutuhkan uluran tangan orang lain agar bangun
dari ketidak berdayaan mereka (powerlesness), bila umat beragama sendiri
acuh-tak-acuh, siapakah yang akan memperhatikan mereka, karena itu umat
beragama harus berusaha dengan segala cara meninggalkan perilaku yang egois
dan tidak sejuk, dan berubah untuk menghasilkan kesejukan bukan hanya bagi
dirinya sendiri tetapi juga bagi lingkungan masyarakat disekitarnya terutama
mereka yang lebih hina.

Tanggung jawab umat beragama adalah agar "Mengasihi Allah dengan
sebulat-bulat hati, dengan segenap akalbudi, dan dengan sekenap kekuatan,
dan mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri."

Sumber : http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/10/11/0001.html

0 komentar:

Posting Komentar